Selasa, 05 Januari 2010

PERKEMBANGAN ARSITEKTUR MASYARAKAT MAKASSAR

LETAK DAN ORIENTASI







Populasi terbesar suku Bugis-Makassar terpusat di Provinsi Sulawesi Selatan. Provinsi Sulawesi Selatan terletak di jazirah selatan Pulau Sulawesi, yang beribukotakan di Makassar terletak antara 0°12’ – 8° Lintang Selatan dan 116°48’ – 122°36’ Bujur Timur.
Secara administratif berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Barat di sebelah utara, Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara di sebelah timur, batas sebelah barat dan timur masing-masing adalah Selat Makassar dan Laut lores.

            Luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan tercatat 45.519,24 km2 yang secara administrasi pemerintahan terbagi menjadi 24 kabupaten dan 3 kota, dengan 296 kecamatan dan 2.946 desa/kelurahan.


            Saat ini, orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Sinjai, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan).

Kabupaten Luwu Utara merupakan kabupaten terluas dengan luas 7.502,68 km2 atau luas kabupaten tersebut merupakan 16,48% dari seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Sedangkan Sulawesi Selatan, 42% dari luas seluruh pulau Sulawesi atau 4,1% dari luas seluruh Indonesia.

            Penduduk Sulawesi Selatan berdasarkan Biro Dekonsentrasi Bagian Kependudukan Pemprov. Sulawesi Selatan pada tahun 2008 berjumlah 7.874.439 jiwa, dengan persentase yang bersuku Bugis-Makassar sekitar  85 persen, yang tersebar di 24 kabupaten/kota, dengan jumlah penduduk terbesar yakni 1.265.521 jiwa (16,07%) mendiami Kota Makassar. Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk di Kota Makassar dimungkinkan karena terjadinya arus urbanisasi dari daerah lainnya di Sulawesi Selatan terutama untuk melanjutkan pendidikan, disamping daerah ini merupakan pusat pemerintahan dan konsentrasi kegiatan ekonomi.


            Kepadatan penduduk per km2 di Sulawesi Selatan rata-rata 173 jiwa/km. Kota Makassar merupakan kabupaten/kota terpadat (7.200 jiwa/km2), menyusul Kota Parepare (1.201 jiwa/km2) kemudian Kota Palopo (842 jiwa/km2). Sedangkan kab/kota dengan tingkat kepadatan penduduk terendah yaitu kab. Luwu Timur (34 jiwa/km2), Luwu Utara (39 jiwa/km2) dan Enrekang (94 jiwa/km2). Tujuh belas (17) kabupaten lainnya rata-rata mempunyak tingkat kepadatan penduduk antara 100-500 jiwa/km2 yaitu Selayar Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, Takalar, Gowa, Sinjai, Maros, Pangkep, Barru, Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang, Tator dan Luwu. 

         Masyarakat Bugis-Makassar tersebar di dataran rendah yang subur dan sekitar pesisir pantai. Iklim yang adapun terbilang seimbang karena tiap tahunnya terjadi pergantian musim, yakni musim kemarau  dan musim hujan. Perubahan musim yang terjadi tiap tahunnya membuat wilayah ini sebagai wilayah yang subur yang dapat ditumbuhi berbagai jenis tanaman.




Kebudayaan dan Arsitektur Bugis


Kebudayaan Bugis seringkali digabungkan dengan kebudayaan Makassar, lalu disebut kebudayaan Bugis-Makassar (Mattulada dalam Koentjaraningrat, 1999). Kebudayaan tersebut mendiami bagian terbesar jasirah Selatan pulau Sulawesi, atau termasuk dalam propinsi Sulawesi Selatan. Penduduk propinsi Sulawesi Selatan sendiri terdiri dari empat suku yaitu: Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar.
            Bardasarkan hasil penelitian etnologi, suku Bugis merupakan keturunan Melayu Muda (Deutro Melayu) yang berasal dari India Belakang. Mereka datang ke kepulauan Nusantara secara bergelombang. Gelombang pertama adalah Melayu Tua yang merupakan nenek moyang suku Toraja. Gelombang kedua, Melayu Muda merupakan nenek  moyang suku Bugis, Mandar, dan Makasar.
Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi dan telah memiliki kesusasteraan tertulis sejak berabad-abad lamanya dalam bentuk lontar. Huruf yang dipakai adalah aksara lontara, sebuah sistem huruf yang berasal dari Sanskerta.
            Kampung kuno orang Bugis umumnya terdiri dari sejumlah keluarga, antara 10 sampai 200 rumah. Rumah-rumah tersebut biasanya berderet, menghadap Selatan atau Barat. Jika ada sungai, maka diusahakan agar rumah-rumah tersebut membelakangi sungai. Pusat dari kampung lama merupakan suatu tempat keramat (possi tama) dengan suatu pohon beringin yang besar, dan kadang-kadang dengan satu rumah pemujaan (saukang). Selain tempat keramat, suatu kampung umumnya juga memiliki langgar atau masjid. 



Sistem Kekerabatan Suku Bugis-Makassar,

Sulawesi Selatan


Di masyarakat umum kita juga mengenal kelompok kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral. Sistem kekerabatan dibagi menjadi 4,yakni:

1. Patrilineal : Prinsip menghitung hubungan keturunan hanya melalui para kerabat pria.

2. Matrilineal : Prinsip menghitung hubungan keturunan hanya melalui para kerabat wanita.

3. Bilineal : Bilineal atau bilateral mengandung pengertian bahwa keturunan di dasarkan pada dua garis, yaitu dari pihak laki-laki dan pihak perempuan. Seseorang yang hidup dalam sistem bilineal diakui kekerabatannya oleh pihak bapak dan juga pihak ibunya. Hak-hak penerusan kehidupan kelompok tidak secara tegas dipusatkan pada anak laki-laki atau perempuan, terkecuali konsepsi bahwa laki-laki merupakan tulang punggung keluarga yang berkewajiban melindungi anggota keluarga atau klan.

4. Ambilineal : Ambilineality adalah sebuah sistem yang mengandung kedua unilineal kelompok keturunan, yaitu patrilineal dan matrilineal, di mana satu milik seseorang
ayah dan / atau kelompok keturunan ibu, atau garis keturunan. Ambilineal budaya tradisional seperti yang  


tercantum di bawah ini, individu memiliki pilihan untuk memilih garis keturunan mereka sendiri.





Di dalam masyarakat Sulawesi Selatan,ditemukan sistem kekerabatan.Sistem kekerabatan tersebut adalah Sebagai Berikut :


a.            Keluarga inti atau keluarga batih

            Keluarga ini merupakan yang terkecil. Dalam bahasa Bugis keluarga ini dikenal dengan istilah Sianang , di Mandar Saruang Moyang, di Makassar Sipa’anakang/sianakang, sedangkan orang Toraja menyebutnya Sangrurangan. Keluarga ini biasanya terdiri atas bapak, ibu, anak, saudara laki-laki bapak atau ibu yang belum kawin.

b.            Sepupu.
Kekerabatan ini terjadi karena hubungan darah. Hubungan darah tersebut dilihat dari keturunan pihak ibu dan pihak bapak. Bagi orang Bugis kekerabatan ini disebut dengan istilah Sompulolo, orang Makassar mengistilahkannya dengan Sipamanakang. Mandar Sangan dan Toraja menyebutkan Sirampaenna. Kekerabatan tersebut biasanya terdiri atas dua macam, yaitu sepupu dekat dan sepupu jauh. Yang tergolong sepupu dekat adalah sepupu satu kali sampai dengan sepupu tiga kali, sedangkan yang termasuk sepupu jauh adalah sepupu empat kali sampai lima kali.


c.            Keturunan.
Kekerabatan yang terjadi berdasarkan garis keturunan baik dari garis ayah maupun garis ibu. Mereka itu biasanya menempati satu kampung. Terkadang pula terdapat keluarga yang bertempat tinggal di daerah lain. Hal ini bisanya disebabkan oleh karena mereka telah menjalin hubungan ikatan perkawinan dengan seseorang yang bermukim di daerah tersebut. Bagi masyarakat Bugis, kekerabatan ini disebut dengan Siwija orang Mandar Siwija, Makassar menyebutnya dengan istilah Sibali dan Toraja Sangrara Buku.

d.            Pertalian sepupu/persambungan keluarga.
Kekerabatan ini muncul setelah adanya hubungan kawin antara rumpun keluarga yang satu dengan yang lain. Kedua rumpun keluarga tersebut biasanya tidak memiliki pertalian keluarga sebelumnya. Keluraga kedua pihak tersebut sudah saling menganggap keluarga sendiri. Orang-orang Bugis mengistilakan kekerabatan ini dengan Siteppang-teppang, Makassar Sikalu-kaluki, Mandar Sisambung sangana dan Toraja Sirampe-rampeang.

e.            Sikampung.
Sistem kekerabatan yang terbangun karena bermukim dalam satu kampung, sekalipun dalam kelompok ini terdapat orang-orang yang sama sekali tidak ada hubungan
darahnya/keluarga. Perasaan akrab dan saling menganggap saudara/ keluarga muncul karena mereka sama-sama bermukim dalam satu kampung. Biasanya jika mereka berada itu kebetulan berada di perantauan, mereka saling topang-menopang, bantu-membantu dalam segala hal karena mereka saling menganggap saudara senasib dan sepenaggungan. Orang Bugis menyebut jenis kekerabatan ini dengan Sikampong, Makassar Sambori, suku Mandar mengistilakan Sikkampung dan Toraja menyebutkan Sangbanua.
Semua kekerabatan yang disebut di atas terjalin erat antar satu dengan yang lain. Mereka merasa senasib dan sepenanggungan. Oleh karena jika ada seorang membutuhkan yang lain, bantuan dan harapannya akan terpenuhi, bahkan mereka bersedia untuk segalanya.


Sistem Kekerabatan dalam Hal Pernikahan Secara Adat


a) Pernikahan
      Pernikahan adalah salah satu cara untuk melanjutkan  keturunan berdasarkan cinta kasih, selanjutnya  pernikahan juga memperat hubungan antar keluarga, antar suku, bahkan antar bangsa. Dengan hubungan pernikahan dapat membuat suatu ikatan yang disebut  massedi siri berarti bersatu dalam mendukung dan mempertahankan kehormatan keluarga. Pernikahan ideal yakni terjadi bila mereka mendapat jodoh dalam lingkup keluarganya sendiri seperti a) siala massappisiseng yakni pernikahan antarsepupu sekali, b) siala massappokadua yakni pernikahan antrsepupu kedua kali, c) siala massappokatellu yakni pernikahan antara spepupu ketiga kali

b) Pembatasan  jodoh

      Dalam masyarakat Bugis dikenal adanya pelapisan sosial golongan, maka terjadi pula pembatasan jodoh dalam hubungan pernikahan. Pada zaman lampau anak keturunan bangsawan dilarang berhubungan dengan orang biasa, jika dilanggar maka pasangan ini dikenakan hukuman riladung yang artinya pelanggar dikenakan hukuman berat yaitu keduanya akan ditenggelamkan kedalam air.

c) Syarat-Syarat Untuk Menikah

     Seorang pria yang akan menikah harus memenuhi syarat yakni : nallebi mattulilingi dapurengnge wekka pittu, artinya ia harus mampu mengelilingi dapur sebanyak tujuk kali, bila ia mampu mengadakan segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan sehari-hari maka ia boleh kawin.


d) Tata Cara Peminangan
      Mappesek-pesek suatu cara untuk mengetahui sudah terikatnya si wanita yang dipilih atau tidak sama sekali.
Madduta yakni pengiriman utusan dari pihak pria untuk mengajukan lamaran. Utusan ini harus orang yang dituakan dan tahu seluk beluk madduta.

e) Waktu Pelaksana Pernikahan
     Tahap yang ditempuh untuk menikah yakni acara mappetu ada atau memutuskan kata sepakat, di acara ini juga dibahas masalah tanra esso (penentuan hari), balanca (uang belanja), dan sompa (mahar) 


f) Mappacci
      Mappacci yakni perawatan bagi calon pengantin wanita sebelum pelaksaan pernikahan.
Selain upacara pernikahan terdapat juga upacara keselamatan kehamilan dan upacara kematian, dalam upacara keselamatan kehamilan tahapan yang dilakukan yakni: makkampai sandro (menghubungi dukun), mappare to mangideng (memberi makan orang mengidam. Dalam upacara kematian  biasanya diutus dua atau tiga orang untuk memberi tahu kerabat dekat kemudian, penguburan akan dilaksanakan, setelah dilaksanakan akan diadakan bilampeni atau upacara keselamatan yang diadakan sejak hari penguburan jenazah, dan mattampung pada hari ketujuh dan kesembilan diadakan upacara ini.




SISTEM KEPERCAYAAN



Sejak dahulu, masyarakat Sulawesi Selatan telah memiliki aturan tata hidup. Aturan tata hidup tersebut berkenaan dengan, sistem pemerintahan, sistem kemasyarakatan dan sistem kepecayaan. Orang Bugis menyebut keseluruhan sistem tersebut Pangngadereng, orang Makassar Pangadakang, Orang Luwu menyebutnya Pangngadaran, Orang Toraja Aluk To Dolo dan Orang Mandar Ada’.
Dalam hal kepercayaan penduduk Sulawesi Selatan telah percaya kepada satu Dewa yang tunggal. Dewa yang tunggal itu disebut dengan istilah Dewata SeuwaE (dewa yang tunggal). Terkadang pula disebut oleh orang Bugis dengan istilah PatotoE (dewa yang menentukan nasib). Orang Makassar sering menyebutnya dengan Turei A’rana (kehendak yang tinggi). Orang Mandar Puang Mase (yang maha kedendak) dan orang Toraja menyebutnya Puang Matua (Tuhan yang maha mulia).
Mereka pula mempercayai adanya dewa yang bertahta di tempat-tempat tertentu. Seperti kepercayaan mereka tentang dewa yang berdiam di Gunung Latimojong. Dewa tersebut mereka sebut dengan nama Dewata Mattanrue. Dihikayatkan bahwa dewa tersebut kawin dengan Enyi’li’timo’ kemudian melahirkan PatotoE. Dewa PatotoE kemudian kawin dengan Palingo dan melahirkan Batara Guru.
Batara Guru dipercaya oleh sebagian masyarakat Sulawesi Selatan sebagai dewa penjajah. Ia telah menjelajahi seluruh kawasan Asia dan bermarkas di puncak Himalaya. Kira-kira satu abad sebelum Masehi Batara Guru menuju ke Cerekang Malili dan membawa empat kasta. Keempat kasta tersebut adalah kasta Puang, kasta Pampawa Opu, kasta Attana Lang, dan kasta orang kebanyakan.
Selian itu Batara Guru juga dipercaya membawa enam macam bahasa. Keenam bahasa tersebut dipergunakan di daerah-daerah jajahannya. Keenam bahasa itu adalah :

a. Bahasa TaE atau To’da. Bahasa ini dipergunakan masyarakat yang bermukim di wilayah Tana Toraja , Massenrengpulu dan sekitarnya. Mereka dibekali dengan kesenian yang bernama Gellu’.

b. Bahasa Bare’E. Bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim di wilayah Poso Sulawesi Tengah. Mereka dibekali dengan kesenian yang disebutnya Menari.

c. Bahasa Mengkokak, bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim di wilayah Kolaka dan Kendari Sulawesi Tenggara. Mereka pula dibekali dengan kesenian, yang namanya Lulo’.

d. Bahasa Bugisi. Bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim di Wajo seluruh daerah disekitarnya dan dibekali dengan kesenian Pajjaga.

e. Bahasa Mandar.  Bahasa ini dipergunakakan oleh masyarakat yang berdiam di wilayah Mandar dan sekitarnya. Mereka dibekai dengan kesenian Pattundu.

f. Bahasa Tona. Bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim di wilayah Makassar dan sekitarnya. Mereka dibekali dengan kesenian dan sebutnya Pakkarena.

Keturunan Batara Guru tersebar ke mana-mana. Keturunannya terbagi-bagi pada seluruh wilayah jelajahnya yang meliputi wilayah bahasa tersebut diatas. Mereka menduduki tempat-tempat yang strategis seperti puncak-puncak gunung. 

 Beberapa gunung yang mereka jadikan tempat strategis adalah sebagai berikut:

a. Dipuncak Gunung Latimojong. Mereka menyebut Puang ri Latimojong dengan gelar Puang Ma’tinduk Gallang, Puang Ma’taro Bessi, Dewata Kalandona Buntu, Puang Lajukna Tanete.

b. Dipuncak Gunung Nonaji. Mereka mengelari Puang ri Sinaji dengan Dewata Mararang Ulunna, Maea Pa’barusunna, Borrong Lise’matanna.

c. Di puncak Gunung A’do, dengan nama Puang Tontoria’do’.

d. Di tasik Mengkombong dengan nama Londong di Langi

e. Di Napo’ (Dende’) dinamakan Datue ri Naopo.

Dengan pengawasan Batara Guru melalui puncak gunung yang tinggi, ia melantik anak-anak keturunannya untuk menjadi raja di tiga kerajaan besar. Ketiga kerajaan yang dimaksud adalah Pajung di Luwu, Somba di Gowa dan Mangkau di Bone. Kemudian disusul dengan kerajaan-kerajaan bagian, seperti Addatuang Sidenreng, Datu Soppeng, Arung Matoa Wajo, Arajang di Mandar, Puang di Tana Toraja dan sebagainya. Kepemimpinan dari raja-raja ini dimotori oleh kharisma dan kesaktian dewa-dewa yang menguasai puncak ketinggian di Sulawesi Selatan.


Di antara kepercayaan sebagian penduduk Sulawesi Selatan adalah Aluk To Dolo oleh orang Toraja. Sebelum masuknya agama Islam sebagian penduduk Sulawesi Selatan telah mempercayai terhadap sesuatu yang Maha Pencipta, pengatur segenap alam. Mereka menyebutnya dengan “Puang Matua”. Pemimpin Aluk To Dolo disebut Burako memimpin dua aluk yaitu Aluk Mata Allo dan Aluk Mata Ampu. Kedua aluk tersebut merupakan cara pengaturan jagad raya. Aluk Mata Allo dianut oleh penduduk Tana Toraja bagian Timur dengan tatacara upacara keagamaan dan kemasyarakatan bercorak aristokratis. Sedangkan Aluk Mata Ampu dianut oleh masyarakat Tana Toraja bagian Barat dengan tata upacara keagamaan kemasyarkatan yang bercorak kerakyatan. Pelaksanaan aluk-aluk tersebut yang mengilhami kebudayaan masyarakat Tana Toraja dalam aspek rohaniah, fisik dan tingkah lakunya.

Pada zaman dahulu, masyarakat Tana Toraja mengenal empat puluh persekutuan adat yang dikenal dengan “Arruan Patampulo”. Keempat puluh persekutuan tersebut tergabung dalam daerah persekutuan yang disebut dengan “Lampangan Bulan” . Wilayahnya adalah meliputi Tana Toraja dan sekitarnya. Menurut Dr. Noorduyn bahwa persekutuan inilah yang merupakan masyarakat asli Sulawesi Selatan. Keberadaan mendahului priode Galigo dan priode Lontara yang mengadabtasi berbagai unsur kepercayaan dan kebudayan dari luar Sulawesi Selatan. Kepercayaan Aluk To Dolo masih dipercayai oleh banyak orang Toraja dewasa ini dengan bentuk-bentuk persekutuan kaum dalam lingkup-lingkup keluarga yang disebut Tongkonan. Ciri khas kepercayaannya yang dianut sejak dulu masih eksis dalam prilaku keagamaan dan adat masyarakat Toraja saat ini.


Misteri makna dari sistem kepercayaan itu sampai saat ini belum diungkap secara memuaskan. Dari hasil pengamatan sementara, dapat dikatakan bahwa ketuhanan Aluk To Dolo bersifat monoteistik dan tidak mengenal hirach dewa-dewa. Puan Matua sebagai pencipta segala sesuatu, memberi berbagai aluk untuk tata tertib dalam kehidupan dunia. Puan Matua itu sendiri dapat dipahami penyataannya melalui penyelenggaraan berbagai macam upacara aluk yang dilakukan oleh orang-orang yang masih hidup dalam rangka hubungan yang tetap dengan dunia roh-roh yang terdapat dalam dunia ini. (Noorduyn, 1964).

Sisa-sisa kepercayaan yang mirip dengan kepercayaan Aluk To Dolo masih terdapat diberbagai tempat di daerah Sulawesi Selatan. Hal itu dapat tampak dengan jelas di Tana Toa Kajang (Kabupaten Bulukumba) dan di Onto, pegunungan terpencil di Camba dan Barru. Kepercayaan mereka dikenal oleh masyarakat luar dengan agama Patuntung. Agama Patuntung mempercayai adanya sesuatu yang Maha Kuasa, MahaTunggal dengan berbagai nama. Ada yang menamakannya Turia a’rana (yang berkehendak) dan sebagainya. Agama Patuntung dipercayai oleh persekutuan dan dipimpin oleh seorang yang mereka telah mendapat petunjuk dari Yang Maha Kuasa dengan tanda-tanda tentang adanya sesuatu kelebihan di dalam kehidupannya. Oleh karena itu, Dia dipilih untuk memimpin kaum dan sekaligus menjadi pemimpin agama. Kaum menghormatinya sebagai makhluk yang suci ditaati segala kehendaknya.

Saat ini penganut agama Patuntung sudah mendapat pengaruh dari luar. Penganut agama Patuntung yang dikenal sejak dahulu lebih memilih hidup memencilkan diri di daerah-daerah yang sukar dikunjungi oleh orang luar. Namun saat ini kebudayaan dari luar juga sempat mempengaruhi kebudayaan mereka. Hal ini dapat dilihat pada penyataan-pernyataan ritual mereka yang tergambar keadaan sikritisme. Tampak dalam unsur kepercayaannya telah dipengaruhi oleh kepercayaan yang mirip dengan kepercayaan agama Budha dan Islam. Pada umumnya agama Patuntung berpakaian yang berwarna gelap yaitu hitam atau biru tua.

Selain kepercayaan Aluk To Dolo masih terdapat kepercayaan yang dianut oleh sebagian masyarakat Sulawesi Selatan, yaitu agama Towani Tolotang. Agama Towani Tolotang dianut oleh sebagian masyarakat Sindenreng Rappang, terutama di beberapa bagian pedalaman. Agama tersebut merupakan suatu kepercayaan yang mempercayai adanya kekuasaan alam yang tinggi yang mereka namai To PalanroE (orang yang mencipta), Dewa SeuwaE (Dewa yang tunggal). Dalam perurutan nama-nama yang mengandung aspek-aspek kedewaan terdapat nama Batara Guru, Sawerigading, Galigo dan sebagainya.


Mereka mempercayai sebuah kitab suci, namanya Mitologi Galigo. Mereka menganggap ajaran dalam kitab ini sebagai jalan kebenaran yang tinggi, dan disitulah mereka mengambil pedoman tentang tata cara hidup kemasyarakatan seperti perkawinan di antara mereka, termasuk upacara dalam hidup keagamaan mereka lakukan dengan sangat ketat. Pada zaman dahulu orang Bugis tidak menguburkan mayat mereka, akan tetapi dibakar dan hasil pembakarannya dimasukkan ke dalam guci. Tentang pembakarannya mayat tersebut ada hubungannya dengan kepercayaan agama Tolotang atau Toani yang diduga asalnya dari Ware Luku sebagai tempat asal Mitologi Galigo.

Religi suku Bugis dan Makassar pada zaman pra islam adalah sure galigo, sebenarnya keyakinan ini telah mengandung suatu kepercayaan pada satu dewa tunggal, biasa disebut patoto e (dia yang menentukan nasib), dewata seuwae (tuhan tunggal), turie a rana (kehendak yang tertinggi). Sisa kepercayaan ini masih tampak jelas pada orang To latang dikabupaten Sidenreng Rappang dan orang Amma Towa di Kajang kabupaten Bulukumba.


Saat agama islam masuk ke Sulawesi Selatan pada awal ke-17, ajaran agama islam mudah diterima masyarakat. Karena sejak dulu mereka telah percaya pada dewa tunggal. Proses penyebaran islam dipercepat dengan adanya kontak terus menerus antara masyarakat setempat dengan para pedagang melayu islam yang telah menetap di Makassar.       


Pada abad ke-20 karena banyak gerakan-gerakan pemurnian ajaran islam seperti Muhammadiyah, maka ada kecondongan untuk menganggap banyak bagian-bagian dari panngaderreng itu sebagai syirik, tindakan yang taik sesuai dengan ajaran Islam, dan karena itu sebaiknya ditinggalkan. Demikian Islam di Sulawesi Selatan telah juga mengalami proses pemurnian.


      Sekitar 90% dari penduduk Sulawesi Selatan adalah pemeluk agama Islam, sedangkan hanya 10% memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik. Umat Kristen atau Katolik umumnya terdiri dari pendatang-pendatang orang Maluku, Minahasa, dan lain-lain atau dari orang Toraja. Mereka ini tinggal di kota-kota terutama di Makassar. 


Kegiatan-kegiatan da'wah Islam dilakukan organisasi Islam yang amat aktif seperti Muhammadiyah, Darudda'wah wal Irsjad, partai-partai politik islam dan Ikatan Mesjid dan Mushalla dengan Pusat Islamnya di Makassar

.
POLAPERKAMPUNGAN


TRADISIONAL


      Bentuk desa di Sulawesi Selatan sekarang merupakan kesatuan-kesatuan administratif, gabungan sejumlah kampong lama (desa gaya baru). Suatu kampong lama, biasanya terdiri dari sejumlah keluarga yang mendiami 10-200 rumah, letak rumahnya berderet  menghadap ke selatan atau barat. Jika terdapat sungai di desa maka diusahakan agar rumah-rumah dibangun dengan gaya membelakangi sungai. Pusat dari kampong lama merupakan suatu tempat keramat (pocci tana) dengan suatu pohon waringin yang besar dan kadang-kadang terdapt juga rumah pemujaan (saukang).

A.  Pola Spasial

1.    Struktur Kampung

Kampung Kamal Muara berdasarkan foto udara, dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini:

      Berdasarkan gambar 1 , maka perkampungan orang Bugis dan terletak di garis pantai dengan pola linier mengikuti alur sungai yang mengarah dari Barat Daya menuju ke Timur Laut. Sementara, perkampungan orang Betawi berada di “daratan”.

        Secara lebih terinci, permukiman dan rumah-rumah orang 
Bugis di Kamal Muara dibangun mengikuti pola alur sungai, 
jalan, dan gang. ( gambar 2 )


      Perkampungan orang Bugis di Kamal Muara adalah pakkaja (kampung nelayan) dengan pola berderet dan mengelompok mengikuti alur sungai dan jalan. Sebagian dari rumah-rumah tersebut membelakangi sungai. Pola demikian sesuai dengan pola spasial kampung pada tradisional Bugis di daerah asalnya.

Orientasi rumah dalam struktur kampung menghadap ke jalan atau gang ( gambar.3 ), karena tidak terdapat pusat orientasi yang biasanya berupa pohon yang besar. Namun demikian kampung Bugis di Kamal Muara memiliki langgar atau masjid yang biasanya juga dapat menjadi pusat orientasi. 

           




 


2.  Tata Letak Rumah

 

      Denah rumah pada umumnya masih mengikuti kaidah-kaidah arsitektur tradisional Bugis. Hal ini terwujud dalam pembagian ruangan atau petak  (lontang/latte), yang tetap dibagi-bagi menjadi tiga bagian:

a.    Lontang risaliweng (ruang depan), berfungsi untuk menerima tamu dan tempat tidur tamu (public)

b.    Lontang retengngah (latte retengngah) atau ruang tengah, berfungsi untuk tempat tidur kepala keluarga dan anak-anak yang belum dewasa, tempat makan (private). 


c.    Lontang rilaleng (latte rilaleng): tempat tidur anak gadis, dapur, dan  kamar mandi.

         Gambar 4. Pembagian Ruang  Rumah Orang Bugis






             Tamping, pada umumnya hanya terletak di depan rumah. Tamping ini memiliki fungsi sebagai tempat bersantai, mengobrol, maupun untuk ruang tamu sebelum dipersilakan masuk. Bandingkan dengan rumah tradisional Bugis yang di TMII yang memiliki dua tamping di depan dan belakang rumah.







Menurut fungsinya rumah orang Bugis di Kamal Muara dibagi juga menjadi tiga bagian secara vertikal, yaitu :






Awaso di Kamal Muara pada umumnya masih difungsikan sebagaimana yang terdapat di tempat asalnya, yakni untuk penyimpanan alat-alat untuk mencari ikan, beternak, motor, atau tempat untuk istirahat siang seperti pada gambar 7 di atas.


Orientasi rumah pada umumnya mengikuti arah jalan, dan tidak lagi memperhatikan orientasi arah mata angin yang seharusnya menghadap ke Timur. Orientasi ini selain untuk menangkap sinar matahari pagi juga dimaksudkan untuk menyesuaikan pada pola tidur penghuni di bagian kanan ruang dalam bangunan dalam arah Selatan-Utara dan harus meletakkan kepalanya pada arah Selatan serta kaki diarahkan ke sebelah kiri bangunan sesuai dengan arah buangan segala kotoran dan ruh jahat.
Namun demikian pertimbangan lain berkaitan dengan sistem pembuangan air kotor dan arah kaki ketika tidur masih mengikuti pola asal yaitu ke arah kiri bangunan.

A.   Pola Stilistika

  •  Atap

     Seperti pada bangunan arsitektur tradisional Bugis di daerah asal, pola penampakan  bangunan di Kamal Muara tersusun dari tiga bagian sesuai dengan fungsinya. Bagian atas (rakeang), terdiri dari loteng dan atap. Atap menggunakan bahan dari seng dan sebagian asbes. Bentuk prisma, memakai tutup bubungan yang disebut Timpak Laja.  

     Timpak laja dibuat dari bahan seng dan sebagian kayu. Pola susunannya tidak diolah dalam pola-pola tingkatan tertentu yang dapat membedakan status sosial penghuninya. Pada umumnya penghuni adalah masyarakat Bugis yang berada pada kelas menengah ke bawah. Selain karena keterbatasan lahan filosofi bentuk kurang memiliki makna dalam pandangan masyarakatnya. 


 
Bentuk desa di Sulawesi Selatan sekarang merupakan kesatuan-kesatuan administratif, gabungan sejumlah kampong lama (desa gaya baru). Suatu kampong lama, biasanya terdiri dari sejumlah keluarga yang mendiami 10-200 rumah, letak rumahnya berderet  menghadap ke selatan atau barat. Jika terdapat sungai di desa maka diusahakan agar rumah-rumah dibangun dengan gaya membelakangi sungai. Pusat dari kampong lama merupakan suatu tempat keramat (pocci tana) dengan suatu pohon waringin yang besar dan kadang-kadang terdapt juga rumah pemujaan (saukang).
  
  •   Bukaan  

Pada umumnya dinding menggunakan bahan kayu yang disusun secara melintang horisontal dan dilapisi dengan cat kayu warna, hanya sebagian yang menggunakan  seng gelombang yang dipasang arah vertikal. Elemen penting pada dinding depan ialah pintu (babang/tange). Pintu diletakkan pada depa ke empat, karena jumlah tiang pada bagian depan berjumlah 5 (lima). Hal yang spesifik pada penyelesaian pintu adalah adanya dinding pembatas setinggi lutut pada bagian bawah. Fungsi penyelesaian bukaan pintu demikian bertujuan untuk melindungi anak-anak agar tidak jatuh ke bawah karena sebagian besar lokasi rumah menempati daerah rawa.


Bukaan lain adalah jendela (tellongeng). Fungsinya adalah bukaan pada dinding yang sengaja dibuat untuk melihat keluar rumah dan juga berfungsi sebagai ventilasi udara ke dalam ruangan. Jumlah jendela 3 (tiga) buah.  Peletakannya pada dinding di antara dua tiang. Pada bagian bawahnya terdapat terali kayu yang dipasang vertikal. Untuk memperindah dan menjaga keamanan ditambahkan jeruji kayu dengan jumlah bilangan ganjil. Jumlah terali 5 buah, hal ini sesuai dengan konsep rumah tradisional Bugis, untuk menunjukkan rumah rakyat biasa.



Pada bagian samping terdapat bukaan yang berupa lobang ventilasi dan pemasangan papan kayu secara longgar untuk mengalirkan udara silang dari arah berbeda dari bukaan jendela depan. Bukaan ini sangat sederhana namun tepat guna dan memiliki corak yang sama berupa bentuk geometri segi enam sebanyak tiga buah.


  •  Ragam Hias 



       Ragam hias rumah di lokasi ini tidak begitu menonjol. Di bagian depan pada timpak laja terdapat motif kayu tempel yang menyerupai motif sinar matahari. Maksudnya adalah sebagai lambang pencerahan yang diilhami oleh elemen-elemen bentuk yang banyak digunakan oleh simbol-simbol organisasi Islam.
Selain itu pada dinding samping lubang ventilasi dengan bentuk segi enam dan penyusunan kayu yang tidak rapat memberikan efek pencahayaan yang cukup menarik bila dilihat dari sisi dalam rumah. Lubang ini pada umumnya terletak di sisi Timur dan Barat. Sinar matahari yang masuk secara tidak langsung juga menjadi alat pemandu waktu. Pagi sebagai pertanda untuk bangun dan sore pertanda malam akan tiba.
   




A. Pola Penataan Struktur

     
Bahan bangunan utama yang banyak digunakan umumnya kayu. Bahan bangunan yang biasanya digunakan : Kayu Bitti, Ipi, Amar, Cendana, Tippulu, Durian, Nangka, Besi, Lontar, Kelapa, Batang Enau, Pinang, Ilalang dan Ijuk.

Dinding dari anyaman bambu atau papan. Atap dari daun nipah, sirap atau seng. Sistem struktur menggunakan rumah panggung dengan menggunakan tiang penyangga dan tidak menggunakan pondasi. Rumah tradisional yang paling tua, tiang penyangganya langsung ditanam dalam tanah. Tahap yang paling penting dalam sistem struktur bangunan adalah pembuatan tiang (aliri). Pembuatan tiang dimulai dengan membuat posi bola (tiang pusat rumah). Bila rumah terdiri dari dua petak maka letak tiang pusat ialah pada baris kedua dari depan dan baris kedua dari samping kanan. Bila tiga petak atau lebih maka letak tiang pusat adalah baris ketiga dari depan dan baris kedua dari samping kanan.

 Secara terinci ciri-ciri struktur rumah orang Bugis antara lain adalah:


1.    Minimal memiliki empat petak atau 25 kolom (lima-lima) untuk sao-raja dan tiga petak atau 16 kolom (untuk bola)


2.    Bentuk kolom adalah bulat untuk bangsawan, segiempat dan segidelapan untuk orang biasa


3.    Terdapat pusat rumah yang disebut di Pocci (posi bola) berupa tiang yang paling penting dalam sebuah rumah, biasanya terbuat dari kayu nangka atau durian; letaknya pada deretan kolom kedua dari depan, dan kedua dari samping kanan.



4.    Tangga diletakkan di depan atau belakang, dengan ciri-ciri:

  • Dipasang di ale bola atau di lego-lego.
  • Arahnya ada yang sesuai dengan panjang rumah atau sesuai dengan lebar rumah.

5.    Atap berbentuk segitiga sama kaki yang digunakan untuk menutup bagian muka atau bagaian belakang rumah


6.    Lantai (dapara/salima) menurut bentuknya bisa rata dan tidak rata. Bahan yang digunakan adalah  papan atau bamboo.



7.    Dinding (renring/rinring) terbuat dari kulit kayu, daun rumbia, atau bambu.


8.    Jendela (tellongeng) jumlahnya tiga untuk  rakyat biasa, tujuh untuk  bangsawan


9.    Pintu (tange sumpang) diyakini jika salah meletakkan dapat tertimpa bencana, sehingga diletakkan dengan cara sebagai berikut:


  • Jika lebar rumah sembilan  depa, maka pintu diposisikan pada depa ke-8; artinya lebar rumah selelu ganjil dan pintu diletakan pada angka genap.








Sebuah kampong lama dipimpin seorang motowa (kepala desa) beserta kedua pembantunya disebut sariang  atau  parennung. Gabungan kampong dalam struktur asli disebut  wanua dalam bahasa Bugis pa’rasangan atau bori  dalam bahasa Makassar. Pemimpin wanua  disebut (arung palili) untuk suku Bugis, Makassar sendiri yakni(karaeng) .


Bentuk rumah dan masjid, dibangun diatas tiang dan terdiri dari tiga bagian yang masing-masing mempunyai fungsi khusus yaitu :
a. rakaeng dalam bahas Bugis atau  pammakkang dalam bahasa Makassar, yakni bagian rumah dibawah atap yang dipakai untuk menyimpan padi, persediaan pangan, dan juga benda-benda pusaka
b. awaso dalam bahasa Bugis atau passiringang dalam bahasa Makassar, bagian dibawah lantai panggung  dipakai untuk, menyimpan alat-alat pertanian , kandang ayam, kambing, dan sebagainya. Pada zaman sekarang tempat ini berubah fungsi  menjadi tempat tinggal manusia.


Hampir semua rumah Bugis dan Makassar yang berbentuk adat, mempunyai suatu pangggung di depan pintu masih dibagian atas dari tangga, panggung ini biasa disebut tamping, tempat bagi para tamu untuk menunggu sbeleum dipersilahkan oleh tuan rumah untuk masuk keruang tamu.


Proses pembangunan untuk rumah suku Bugis dan Makassar, biasanya menggunakan beberapa ramuan pada tiang utama yang akan didirikan, bahkan, kadang-kadang menggunakan kepala kerbau setelak kerangka rumah berdiri. Proses semacam ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya malapetaka.

KONSEP RUMAH DAN RUANG DALAM ARSITEKTUR TRADISIONAL

Orang Bugis juga mengenal sistem tingkatan sosial yang sangat berkait dengan arsitektur. Pelapisan sosial tersebut antara lain adalah Anakarung (bangsawan), to maradeka (rakyat biasa), dan ata (sahaya).

 
Berdasarkan lapisan sosial penghuninya, berdampak pada pola bentuk rumah yang disimbolkan berbeda-beda, yaitu:

1. Sao-raja (sallasa)
è Rumah besar yang didiami keluarga kaum bangsawan  (Anakarung). Biasanya memiliki tiang dengan alas bertingkat di bagian bawah dan dengan atap di atasnya (sapana) yang memiliki bubungan bersusun tiga atau lebih,

2. Sao-piti è  Bentuknya lebih kecil tanpa sapana, dan memiliki         bubungan yang bersusun dua.


3. Bola è Merupakan rumah bagi masyarakat umumnya.


Berdasarkan pola morfologinya, arsitektur Tradisional Bugis dapat dilihat dari beberapa segi sebagai berikut:

A. Pola Penataan Spatial

 
            Arsitektur rumah Bugis umumnya tidak bersekat-sekat. Bentuk denah yang umum adalah rumah yang tertutup, tanpa serambi yang terbuka. Tangga depan biasanya di pinggir. Di depan tangga tersedia tempat air untuk mencuci kaki. Tangga rumah tersebut berada di bawah atap (Sumintardja, 1981). Selain itu rumah Bugis umumnya memiliki suatu ruang pengantar yang berupa lantai panggung di depan pintu masuk, yang dinamakan tamping. Biasanya tempat ini difungsikan sebagai ruang tunggu bagi para tamu sebelum dipersilakan masuk oleh tuan rumah.


Rumah Bugis juga dapat digolongkan menurut fungsinya (Mattulada dalam Koentjaraningrat, 1999). Secara spatial vertikal dapat dikelompokkan dalam tiga bagian berikut:

1. Rakeang                          
è        bagian atas rumah di bawah atap, terdiri dari loteng dan atap rumah yang dipakai untuk menyimpan padi dan lain persediaan pangan serta benda-benda pusaka. Selain itu karena letaknya agak tertutup sering pula digunakan untuk menenun dan berdandan. 

2. Alo-bola (alle bola)        :
terletak antara lantai dan loteng ruang dimana orang tinggal dan dibagi-bagi menjadi ruang-ruang khusus, untuk menerima tamu, tidur, makan,

3. Awaso                             :
kolong rumah yang terletak di bagian bawah antara lantai dengan tanah atau bagian bawah lantai panggung yang dipakai untuk menyimpan alat-alat pertanian dan ternak.


Sedangkan penataan spatial secara horisontal, pembagian ruang yang dalam istilah Bugis disebut lontang (latte), dapat dikelompokkan dalam tiga bagian sebagai berikut :

1. Lontang risaliweng (ruang depan)
 
Sifat ruang semi private, berfungsi sebagai tempat menerima tamu, tempat tidur tamu, tempat bermusyawarah, tempat menyimpan benih dan tempat membaringkan mayat sebelum dikebumikan. Ruang ini adalah ruang tempat berkomunikasi dengan orang luar yang sudah diijinkan untuk masuk. Sebelum memasuki ruang ini orang luar diterima lebih dahulu di ruang transisi (tamping).


2. Lontang retengngah (latte retengngah) atau ruang tengah.
Sifat ruang private, berfungsi untuk tempat tidur kepala keluarga dan anak-anak yang belum dewasa, tempat makan, melahirkan. Pada ruang ini sifat kekeluargaan dan kegiatan informal dalam keluarga amat menonjol.

3. Lontang rilaleng (latte rilaleng), sifat sangat private.

Fungsi ruang ini untuk tempat tidur anak gadis atau nenek/kakek. Anggota keluarga ini dianggap sebagai orang yang perlu perlindungan dari seluruh keluarga.

Untuk Sao raja, ada tambahan dua ruangan lagi:



1. Lego-lego
Ruang tambahan, jika di depan difungsikan sebagai tempat sandaran, tempat duduk tamu sebelum masuk, tempat menonton ada acara di luar rumah.

2. Dapureng (jonghe)
            Biasanya diletakkan di belakang atau samping. Fungsinya untuk memasak dan menyimpan peralatan masak










Kesimpulan




 



Pada umumnya masyarakat memiliki keinginan yang kuat untuk tetap menggunakan pola penataan fungsi dan bentuk rumahnya sesuai dengan pakem yang ditentukan oleh adat istiadat Bugis yang telah dikenalnya secara turun temurun, baik dari segi spatial, stilistika dan struktural. Namun hal ini sulit dilaksanakan karena beberapa pertimbangan berikut :


a.    Dari segi Spatial

-       Pertautan budaya dengan lingkungan sekitar yang kurang memiliki ikatan emosional yang kuat dengan budaya asalnya (masyarakat heterogen).

-       Interaksi sosial yang menuntut perubahan bentuk secara fungsional dan kesejamanan. Ada rasa rendah diri dari anggota keluarga (khususnya remaja) terhadap pola rumahnya yang berbentuk panggung.

-       Kebutuhan ruang aktifitas keluarga yang lebih privat, sehingga ruang-ruang disekat sesuai jumlah anggota keluarga. Hal ini berbeda dengan pola penataan ruang dalam yang ada pada pola spatial Arsitektur Bugis.





b.    Dari segi Stilistika

-       Hilangnya makna simbolik terhadap elemen-elemen bentuk stilistik. Rancangan bangunan lebih dipandang dari sudut fungsional semata.

-       Kurangnya pengetahuan masyarakat Bugis terhadap dasar-dasar filosofi bentuk disamping tidak adanya lembaga dan aturan yang mengikat nilai-nilai ini.



c.    Dari segi Struktural

-     Bahan bangunan utama (kayu ulin) sulit didapat di wilayah pemukiman sehingga harganya sangat mahal.

-       Ketinggian kolom tidak direncanakan terhadap kemungkinan terjadinya abrasi pantai, sehingga fungsi ruang bawah (awa bola) tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya. Makin lama ketinggian ruang bawah rumah makin berkurang karena tuntutan pengurugan.

-       Adanya anggapan bahwa rumah dengan bahan bata dipandang lebih baik dalam perawatan dan daya tahan. Selain itu, rumah bata juga dianggap menunjukkan tingkat kemampuan ekonomi penghuni yang lebih baik.







Agrest, D, (1996), “Design Versus Non-Design”, Oppositions 6, 1976 in Kate Neisbitt (ed) Theorizing a New Agenda for Architecture, Princeton Architecture, New York:, p771-776
Crowe, N, (1995), Nature and the Idea of a Man-Made World: an Investivigation into the Evolutionary Roots of Form and Order in the Built Environment, MIT Press, Massachusetts.
Koentjaraningrat (1999), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Pallasma, J (1996), “The Geometry of Feeling, A Look at the Phenomenology of Architecture,” Scala : Nordic Journal of Architecture and Art, in Kate Neisbitt (ed) Theorizing a New Agenda for Architecture, Princeton Architecture, New York, p.447-452
Rapoport, A, (1969), House, Form and Culture, Prentice Hall, New York.
Rudovsky, B, (1964), Architecture Without Architects, Academy Editions, London.
Schultz, C, N, (1988), Architecture: Meaning and Place, Rizzoli, New York.
Sumintardja, D, (1981), Kompedium Sejarah Arsitektur, Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Banagunan, Bandung.
Sutrisno, R, (1984). Bentuk Struktur Bangunan Dalam Arsitektur Modern,Gramedia, Jakarta.
Tanudjaja, F,C,J,S, (1998). Kerangka Makna di Dalam Arsitektur, Penerbit UAJY, Yogyakarta.








RIZQI SYAHRUL MUHARRAM ( 20308040 ), 2TBO1
ARSITEKTUR GUNADARMA